Quotes

"Create Success Generation"

Senin, 13 November 2023

P.T. Kinra (Character Building)

Training Pegadaian Rantau Prapat

Motivasi KPUD se Sumatera Utara

Sabtu, 13 Mei 2023

Kajian Parenting Islami MUI SUMUT : Membangun Karakter Dengan Karakter

Selasa, 25 Oktober 2022

2 Potensi Penting Membentuk SDM Unggul

Tidak ada habisnya jika kita menelaah tentang membangun potensi diri manusia. Ada keunikan tersendiri pada diri manusia yang terus berkembang baik maupun buruk dalam perjalanannya. Ada yang baik diusia muda namun semakin buruk kualitas dirinya saat usia dewasa, begitu juga sebaliknya yang terlihat buruk disaat muda namun semakin matang dan berkualitas disaat usia dewasa. apakah kondisi ini terjadi dibawah kontrol diri kita atau diluar kendali diri?

Kamis, 30 Juni 2016

Ramadhan : Upaya Membangun Karakter Taqwa (The Excellent Character)

Ramadhan : Upaya Membangun Karakter Taqwa (The Excellent Character)
(Sebuah renungan akhir Ramadhan: bag-1)

Indahnya bulan suci Ramadhan ketika melihat banyak orang secara bersamaan melakukan peningkatan kualitas diri/jiwa dengan berbagai amal kebaikan. Mulai dari menahan hawa nafsu, membiasakan diri untuk sering berinteraksi dengan Sang Pencipta melalui ibadah qiyamul lail, membaca Qur’an, dan juga ibadah sosial untuk saling berbagi, peduli dan bersilaturahim.
Ada banyak manfaat yang akan diperoleh bagi pribadi yg menjalankan puasa dengan sepenuh hati, dan diantara manfaat besar itu adalah pembentukan karakter yang lebih baik (menuju karakter taqwa).
Satu bulan lamanya ummat Islam berjuang untuk mendidik hawa nafsu selama 13,5 jam/hari, tentu memberi efek yang beragam pada setiap orang. Bagi mereka yang menghayati dan menikmati proses ‘Pelatihan Ruhiyah’ ini akan merasakan nikmatnya diri yang selalu berupaya menjaga kesucian jiwanya dengan hanya melakukan yang positif (kebaikan) dan mencegah masuknya hal negatif (keburukan) pada pikiran, hati, pandangan, dan pendengaran. Dengan demikian suasana jiwanya akan selalu positif dan dekat dengan kebahagiaan.
Tapi bagi mereka yang berpuasa fokus pada menunggu waktu berbukanya semata dan hanya menahan lapar dan haus saja, maka disiang hari ia bisa ‘bersabar’ dan setelah maghrib kesabaran dan hawa nafsunya merajalela untuk berlebih-lebihan dalam melepas rasa haus dan lapar seharian. Sikap bersabarnya seharian seharusnya berlanjut hingga malamnya sehingga beragam kebaikan bisa dilakukan untuk pendekatan kepada Sang Pencipta.
Ada beberapa karakter penting yang ditanamkan selama satu bulan berpuasa yaitu :
  • Jujur, pengawas utama orang yang berpuasa adalah Allah SWT, ia bisa saja berpura-pura puasa dengan makan dan minum ditempat yang tersembunyi, tapi itu tidak dilakukan, ia berupaya menjadi pribadi yang jujur dalam keadaan sendiri maupun ramai, bahwa ia sedang berpuasa.
  • Sabar, hebatnya orang yang berpuasa adalah ia siap menjalani kebiasaan untuk tidak makan dan minum disiang hari selama satu bulan, disaat ia di uji berbaur dengan orang yang tidak berpuasa dan makan serta minum didepannya. Ditambah lagi keharusan untuk menahan emosi agar tidak mudah marah ketika konflik terjadi.
  •  Komitmen, orang yg berpuasa adalah pribadi yang teguh dengan kepatuhan pada perintah Tuhannya, ia siap berupaya untuk menahan lapar dan haus dan segala prilaku yg dapat membatalkan ibadah puasanya.
  • Pengorbanan, orang berpuasa sekaligus bekerja menjalankan amanah disiang harinya adalah pribadi hebat yang siap berkorban/bekerja dalam kondisi siang hari yang pasti lapar dan haus. Tidak mudah menjalani kecuali mereka yang punya keteguhan iman yang baik
  • Kerja keras, jika bisa rampung mengerjakan tugas dalam keadaan tidak berpuasa itu biasa, tapi jika tetap prima menyelesaikan tugas sambil berpuasa itu sungguh luar biasa, kerja keras yang dilakukan saat berpuasa adalah keistimewaan tersendiri bagi orang yang berpuasa
  • Mawas diri, ini adalah sikap berhati-hati dalam segala hal; berbicara, mendengar, dan bersikap.
  • Santun, anjuran untuk menjaga lisan saat berpuasa membentuk pribadi santun pada orang yang berpuasa
  • Peduli, rasa untuk berbagi dan menyayangi merupakan pembentuk karakter kepedulian yang baik bagi orang yang berpuasa, dan ini amat penting untuk kehidupan yang lebih baik.

Inilah diantara karakter unggul yang terbentuk setelah ramdahan berlalu. Maka pribadi yang berpuasa diibaratkan menjadi pribadi baru yang baru keluar dari ‘kepompong’ ramadhan menjadi makhluk yang indah dengan segala kemuliaan akhlaqnya.

Jika jelang akhir Ramadhan kedelapan karakter ini belum menguat pada diri kita, maka perlu diperbaiki ibadah Ramadhannya mumpung masih ada beberapa hari lagi, wassalam.


Kamis, 31 Maret 2016

The Missing Tile Syndrom (By: M. Ridwan)

       Itu adalah Sindrome Ubin Hilang. Orang yang mencetuskannya adalah Denis Prager. Wong Barat.
       Penjelasannya begini. Katakanlah kita sedang membangun rumah. Lalu, setelah sekian bulan, menurut tukang, rumah tersebut sudah layak dihuni. Dari tampilan luarnya, rumah itu sangat indah dan megah. Cantik dan asri . Bahkan, ketika memasukinya, tidak ada yang mengecewakan kecuali satu hal saja. Apa itu?
       Ternyata ada satu ubin atau keramik lantai yang belum terpasang. Ya, cuma satu ubin saja. Pertanyaannya, apakah kehilangan satu ubin itu membuat kita tetap tenang dan tidak mengurangi apresiasi kita terhadap rumah megah tadi?
       Nah, jika kita lantas kecewa, atau marah terhadap ubin yang hilang tadi, maka kita terkena The Missing Tile Syndrome. Apalagi, jika kita sampai stress dan sangat tertekan dengan si ubin hilang, maka dipastikan kita terkena sindrome berat.
       Memang, dalam kenyataannya peristiwa ubin hilang tadi jarang terjadi. Soalnya, pastilah si tukang tidak akan berani memamerkan rumah tanpa menyempurnakannya. Kredibiltasnya bisa jatuh, bukan?
Sindrome ini untuk menggambarkan bahwa manusia itu cendrung  melihat apa yang tidak dimilikinya.  Bukan apa yang sudah ia punya. Atau, manusia itu suka sekali melihat sebuah kekurangan ketimbang sebuah hasil yang nyata-nyata dan sangat jelas di depan mata.
       Lalu, salahkah sikap perfeksionis atau menuntut kesempurnaan? Tentu tidak salah, jika terkait dengan sebuah mekanisme kerja yang bisa diukur.
Katakanlah, kita bisa mencapai hasil yang sempurna jika sebuah SOP diikuti. Lalu, kita tidak melakukannya. Lantas, kita mengatakan "Wah, tidak apa-apa tuh, kita punya rencana, tapi Tuhan yang menentukan". Atau, kita berkeluh kesah dengan sebuah keadaan yang amburadul, padahal sebabnya karena kita memang enggan mendesain rencana yang matang.
Saya kira tidak begitu.
       Tetap saja ada kapling ikhtiar manusia yang bisa dilakukan. Misalnya lagi, kita tentu tidak bisa berpura-pura nyaman dan malas bekerja di negeri ini padahal narkoba dan kesenjangan ekonomi begitu kentara.  Misalnya...
       Dalam beberapa pekerjaan, manusia bisa membuat suatu produk yang sempurna -dan harus sempurna-. Misalnya produksi kapal terbang atau pesawat ruang angkasa. Jangan ada satupun ubin yang hilang.
       Anda tentu masih ingat peristiwa meledaknya pesawat Challenger di tahun 80-an lalu, bukan?. Katanya, ada satu lapisan panel luar di dinding pesawat yang longgar dan lepas. Ternyata, hilangnya, satu panel menyebabkan kehilangan besar. Beberapa nyawa astronot melayang dan jutaan dollar lenyap seketika. Gara-gara satu ubin itu.
        Tapi ini beda.
       Ubin yang saya maksud terkait pencapaian dalam bentuk materi atau cara pandang kita melihat orang.
Misal, kita panik ketika uang yang dimiliki hilang beberapa ratus ribu rupiah, padahal kita memiliki deposito dan aset yang melimpah. Kita tetap saja stress meskipun ada bonus dan tunjangan yang kita peroleh.
Atau, kita kecewa dengan tampilan fisik yang dimiliki. Entah karena kurang cantik, kurang tinggi, kurang kurus, dll. Padahal masih banyak orang lain yang tidak memiliki anggota tubuh yang lengkap seperti kita.
Far Estern Economic Review tahun 2002 menyatakan bahwa ternyata masyarakat Asia ke-2 yang banyak mengalami gangguan jiwa adalah Indonesia. Penyebabnya adalah uang dan kesehatan. Sedih ya? Nah, bisa jadi masyarakat kita terkena sindrome ini.
       Mungkin ada yang menyatakan bahwa sekarang ini mencari rejeki itu sulit. Duit susah dicari dan biaya hidup meningkat. That's oke. Dari dulupun, masalah ekonomi ini ada. Lalu mau gimana lagi?
Kita juga bisa terkena The Missing Tile Syndrome ketika menyikapi orang lain. Kita fokus dengan kekurangan orang lain padahal seabrek kelebihan dan kebaikannya jelas kita rasakan. Atau, kita kecewa dengan pasangan, rekan kerja atau bos di kantor. Kita pingin cari bos baru, rekan baru atau juga pasangan baru. Upss, sorry. Padahal, jika mau sedikit berupaya dan melihat dari sudut pandang berbeda maka selalu ada "ubin yang indah" di diri mereka, bukan?
       Di situlah pentingnya perubahan perspektif. Perubahan paradigma. Dalam kelas-kelas ekonomi Islam yang kami kelola, selalu ditekankan pentingnya paradigma Islami dan perpespektif falah dalam berfikir dan bertindak terkait pemenuhan kebutuhan hidup dan aktifitas ekonomi. Kita harus memurnikan pikiran dan hati kita.
       Saya kira. Rasul adalah contoh manusia yang tidak terkena sindrome ubin hilang. Misal, ia tidak kecewa ketika diberikan harta dan tampilan ekonomi yang hanya "sebegitu", meski ia tahu bahwa Nabi Sulaiman bisa sangat kaya meskipun seorang nabi. Ia tidak terintimidasi dengan tampilan glamour pemuka Quraisy, padahal ia mampu melakukannya, bukan?. Ia tidak stress, jangan-jangan orang mencibir, "Nabi kok miskin?
       Atau, rasul tidak terkena sindrome ini ketika berhadapan dengan kafir Quraisy yang keras kepala, stubborn dan dark heart. Ia selalu memiliki pandangan positif bahwa mungkin saja, suatu ketika mereka akan mendapat hidayah. Ia tidak marah atau dendam kesumat. Ia selalu membuka hatinya, sewaktu-waktu ubin itu akan tergantikan.
Terbukti bukan?.
       Para kafir akhirnya berbondong-bondong memeluk Islam. Ternyata para sahabat juga mengikuti sikap beliau.
       Saya hanya berandai-andai. Sekiranya saja Rasul dan sahabatnya terkena sindrome ini, maka apakah mungkin kita masih bisa merasakan indahnya iman dan Islam? Lalu, mengapa tidak berupaya menghilangkan sindrome ini sesegera mungkin?
Yup, cara mengobatinya adalah dengan banyak bersyukur. Oalah,,jauh-jauh muter dan pakai istilah asing, ternyata pesannya cuma bersyukur toh. Ya, iyalah....

sumber : http://mridwancentre.blogspot.co.id/

___________________________________________________________________________________

DR. M. Ridwan, MA meraih gelar doktor dalam bidang ekonomi Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia adalah dosen dan pembicara ekonomi Islam di beberapa  perguruan tinggi lainnya di Indonesia. Saat ini dipercaya sebagai Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN-SU. Selain itu juga dipercaya sebagai koordinator CIESRA (Center for Islamic Economics and Sharia Research) Pusat.  Aktif dan pernah menjabat sebagai staf ahli Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Pusat Jakarta (2008) dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Sumatera Utara (2012-2015).

Beberapa karya tulis yang pernah diterbitkan Konsep Pembangunan Menurut Ekonomi Islam dalam Buku Ekonomi dan Bank Syariah (Medan: IAIN Press, 2002), Pengembangan IT di Fakultas Syariah  (Bandung: Cita Pustaka Media, 2007), Transaksi Derivatif Dalam Perspektif Islam (Jurnal Solo, 2008),  Hukum dan Ekonomi Islam (ed), (Bandung: Citapustaka Media, 2007),Dinar Dirham Vs Bank Islam (2012) dan berbagai artikel baik yang ditulis di koran maupun MAJALAH.

Untuk menghubungi dan berkonsultasi dengan penulis silahkan kontak ke HP : 0813-75239220 email: mridwanku@gmail.com